Di era digital yang begitu cepat berubah dan penuh distraksi, anak-anak terutama anak perempuan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Gempuran informasi, budaya instan, dan paparan media sosial telah mengubah pola interaksi sekaligus memengaruhi pembentukan karakter. Dalam konteks ini, kehadiran seorang ayah tidak bisa lagi diposisikan sebatas pencari nafkah, melainkan harus mengambil peran aktif sebagai pelindung, panutan, sekaligus pemandu nilai moral anak perempuannya.
# Pendapat Ahli :
Profesor Dr. Rose mini Agus Salim,M.Psi Seorang Psikolog Universitas Indonesia Jakarta, menekankan bahwa keterlibatan ayah secara emosional berdampak signifikan pada rasa percaya diri anak perempuan. “Ayah adalah cermin pertama bagi anak perempuan dalam melihat bagaimana dunia laki-laki memperlakukannya. Jika ayah hadir dengan penuh kasih, maka ia akan tumbuh dengan standar yang sehat dalam memilih hubungan, membangun harga diri, dan menentukan arah hidupnya,” tegas Dr. Rose.
Pandangan ini senada dengan pendapat Profesor Dr. Ahmad Baedowi, pakar pendidikan keluarga dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menurutnya, era digital bukan hanya menantang secara teknologi, tetapi juga secara moral dan sosial. "Peran ayah sangat penting dalam menjadi benteng pertama ketika anak perempuan menghadapi krisis identitas, godaan media sosial, hingga bias-bias budaya populer yang seringkali menyesatkan," ungkap Baedowi dalam salah satu seminar pendidikan nasional.
Selain itu, penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Family Psychology (Lamb & Lewis, 2010) mengungkapkan bahwa keterlibatan ayah secara konsisten dalam kehidupan anak perempuan berkaitan erat dengan peningkatan kepercayaan diri, prestasi akademik, serta penurunan risiko perilaku menyimpang di masa remaja. Di era digital saat ini, ketika anak perempuan rentan terhadap tekanan sosial dari media daring, kehadiran dan validasi dari sosok ayah terbukti mampu memberikan landasan psikologis yang stabil. Hal ini bukan hanya berlaku bagi anak dari keluarga utuh, tetapi juga penting bagi ayah yang telah bercerai untuk tetap menjaga relasi emosional dengan anak perempuannya.
Peran ayah juga krusial dalam membangun literasi digital dalam keluarga. Ayah yang melek teknologi dan bersedia berdialog secara terbuka mengenai isu-isu digital mulai dari keamanan privasi, manipulasi algoritma media sosial, hingga penyebaran hoaks dapat menciptakan ruang edukatif yang sehat di rumah. Hal ini memberikan anak perempuan bukan hanya informasi yang benar, tetapi juga keteladanan dalam menyikapi teknologi secara bijak. Dalam jangka panjang, pendekatan seperti ini akan membantu anak perempuan tumbuh sebagai individu yang kritis, percaya diri, dan memiliki daya tahan terhadap pengaruh negatif dunia maya.
# Menurut Undang – Undang :
Secara yuridis, Indonesia telah mengatur pentingnya peran orang tua dalam pembentukan karakter anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 Ayat (1), menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab dalam mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Ini termasuk perlindungan terhadap dampak negatif kemajuan teknologi dan media digital. Dengan demikian, kehadiran ayah sebagai figur protektif dan edukatif memiliki dasar hukum yang kuat, bukan hanya berdasarkan norma sosial atau budaya semata.
Sayangnya, dalam banyak keluarga modern, peran ini justru melemah. Ayah terlalu sibuk mengejar karier, menyerahkan urusan emosional sepenuhnya kepada ibu. Padahal, riset Harvard University menunjukkan bahwa anak perempuan yang memiliki ikatan kuat dengan ayahnya cenderung lebih tangguh menghadapi tekanan sosial, memiliki pencapaian akademis lebih baik, dan lebih selektif dalam membangun relasi.
Era digital menuntut lebih dari sekadar pengawasan teknis seperti mengatur screen time atau memblokir konten. Anak perempuan butuh komunikasi yang hangat, diskusi terbuka tentang nilai, dan contoh nyata dari figur pria dewasa dalam hidupnya yaitu ayahnya. Tanpa ini, mereka mudah terjerat oleh citra semu dunia maya yang penuh polesan dan bias gender.
# Kesimpulan :
Sudah saatnya para ayah menyadari bahwa menjadi pelindung di era digital bukan berarti bersikap otoriter atau mengatur secara kaku, melainkan hadir secara emosional, memberi waktu, dan menjadi panutan nilai. Sebab di tengah lautan algoritma dan budaya populer yang terus menggoda, anak perempuan butuh jangkar kuat yang mengarahkan mereka pada jati diri yang sehat dan utuh.
Peran ayah dalam kehidupan anak perempuan tidak bisa digantikan oleh teknologi atau institusi mana pun. Mereka adalah pilar utama dalam pembentukan karakter, moral, dan identitas anak perempuan di era digital. Maka, jangan hanya menjadi ayah secara biologis jadilah pelindung, panutan, dan pemandu nilai bagi mereka yang tumbuh di dunia yang terus bergerak cepat ini.
